Sidoarjo, Siarpos.com – Ruang Paripurna DPRD Sidoarjo kembali menjadi panggung ujian demokrasi dalam rapat yang digelar pada Selasa sore, 17 Juni 2025. Sorotan publik tertuju pada forum ini karena Bupati Sidoarjo, Subandi, menyampaikan permintaan maaf secara terbuka atas pernyataan sebelumnya yang sempat viral dan menimbulkan kontroversi.
Permintaan maaf tersebut merupakan bentuk klarifikasi atas ucapannya yang dianggap merendahkan lembaga legislatif, khususnya terkait dana Pokok Pikiran (Pokir). Sayangnya, niat baik tersebut belum mampu meredakan ketegangan yang telah terlanjur memanas. Sejumlah legislator dari berbagai fraksi menilai permintaan maaf itu tidak substantif dan tidak cukup menyentuh akar permasalahan. Alhasil, mereka memilih untuk melakukan aksi walk out sebagai bentuk kekecewaan.
Situasi di ruang sidang yang semula formal berubah emosional. Beberapa anggota DPRD secara berurutan meninggalkan ruangan, diawali oleh Fraksi Gerindra yang kemudian diikuti oleh fraksi-fraksi lain seperti PDIP, PAN, Demokrat-NasDem, PKS, PPP, dan sebagian dari PKB. Aksi walk out ini menjadi simbol kuat dari ketidakpuasan yang tidak terwakili dalam forum resmi.
Pimpinan sidang sempat mencoba meredakan situasi dengan ajakan untuk saling memaafkan dan menahan diri. Namun, seruan tersebut tidak cukup untuk mencegah langkah sejumlah anggota yang telah memutuskan meninggalkan ruangan.

Data yang dihimpun menunjukkan bahwa aksi walk out dilakukan oleh sebagian besar anggota dari enam fraksi besar. Hanya Fraksi Golkar dan sebagian PKB yang tetap berada di ruang sidang hingga akhir. Fraksi Golkar secara terbuka menyatakan menerima permintaan maaf Bupati sebagai bentuk kedewasaan politik dan mendorong semua pihak untuk melanjutkan agenda pemerintahan secara konstruktif.
Sementara itu, Fraksi PKB menyatakan bahwa langkah keluar yang dilakukan oleh sebagian anggotanya adalah keputusan individu dan bukan sikap resmi fraksi. Mereka menggarisbawahi pentingnya kedisiplinan dan kesatuan sikap di dalam tubuh partai, serta membuka kemungkinan adanya evaluasi internal.
Peristiwa ini mencerminkan dinamika politik lokal yang sangat intens. Permintaan maaf seorang kepala daerah, yang seharusnya menjadi momen rekonsiliasi, justru memperlihatkan adanya luka politik yang belum sepenuhnya sembuh. Walk out para legislator bukan hanya tindakan fisik meninggalkan forum, tetapi juga bentuk protes yang mencerminkan kedalaman kekecewaan mereka.
Warga Sidoarjo kini menunggu perkembangan selanjutnya, berharap bahwa ketegangan antar elit politik tidak menghambat jalannya pemerintahan dan pembangunan daerah. Aksi walk out yang terjadi dalam forum ini menjadi catatan penting dalam sejarah demokrasi lokal, menunjukkan bahwa dalam dunia politik, permintaan maaf tidak selalu cukup untuk menutup luka yang telah terbuka. (Cak Sokran)